Senin, 17 Mei 2010

Dampak Makanan Siap Saji Bagi Tubuh

PERUBAHAN gaya hidup dan perilaku makan telah menimbulkan masalah gizi ganda yaitu masalah gizi lebih dan gizi kurang dengan berbagai risiko penyakit yang ditimbulkannya. Sekarang ini makanan siap saji merupakan makanan yang paling banyak dikonsumsi, dan banyak menimbulkan pro dan kontra.
Dari satu sisi ibu rumah tangga yang juga bekerja di luar rumah, makanan siap saji memberikan keuntungan dan kemudahan dalam penyajian. Akan tetapi, makanan siap saji yang dipasarkan saat ini menggunakan berbagai bahan aditif yang bertujuan untuk mengawetkan dan memberikan citarasa yang lebih baik pada produknya.
Kekhawatiran yang muncul akibat adanya bahan aditif ini adalah adanya efek negatif dari bahan tersebut yang berdampak pada kesehatan konsumen. Selain dari bahan aditif, efek tersebut juga dapat berasal dari kemasan yang digunakan. Efek negatif yang dapat terjadi antara lain dihubungkan dengan penyakit degeneratif.
Upaya pencegahan dampak negatif dapat dilakukan secara internal yaitu peranan ibu rumah tangga dalam penyajian pangan lebih mengutamakan makanan tradisional yang sehat, sedangkan upaya eksternal adalah meningkatkan kepedulian pemerintah, LSM, dan produsen terhadap bahaya zat aditif makanan siap saji.
Kemajuan ilmu dan teknologi berkembang dengan pesat di berbagai bidang, termasuk bidang pangan, kemajuan teknologi ini membawa dampak positif maupun negatif. Dampak positif teknologi tersebut mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas pangan, juga meningkatkan diversifikasi, higienitas, sanitasi, praktis dan lebih ekonomis. Dampak negatif kemajuan teknologi tersebut ternyata cukup besar bagi kesehatan konsumen dengan adanya penggunaan zat aditif yang berbahaya.
Pola kehidupan masa kini dicirikan dengan tingginya biaya hidup, emansipasi atau karena alasan lain menyebabkan wanita bekerja di luar rumah. Data statistik tahun 2002 menunjukkan, wanita yang bekerja pada angkatan kerja berjumlah 33,06 juta atau 44,23% dari jumlah total usia wanita antara 15-60 tahun (BPS, 2002).
Wanita sebagai ibu rumah tangga dan sebagian lain berprofesi bekerja di luar rumah, karena keterbatasan waktu dan kesibukan, serta sulitnya mencari pramuwisma menyebabkan makanan siap saji menjadi menu utama sehari-hari di rumah. Ritme kehidupan yang menuntut segala sesuatu serbacepat, waktu terbatas, anak harus pergi sekolah sementara ibu dan bapak harus segera berangkat kerja, sebagai jalan pintas untuk sarapan disediakanlah makanan siap saji yang memakan waktu penyiapan 3 sampai 5 menit. Siang hari pulang sekolah ibu dan bapak masih bekerja di kantor, anak-anak kembali menikmati makanan siap saji ini. Selain mudah disajikan makanan ini umumnya mempunyai cita rasa yang gurih dan umumnya disukai, terutama anak-anak usia sekolah.
Masalah lain yang jadi fenomena di masyarakat adalah tersedianya berbagai jajanan yang dikemas dapat dipastikan “kaya” zat aditif. Tercatat 13 jenis camilan ringan (snack) mengandung bahan aditif dalam kandungan yang cukup tinggi. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh manakah bahan-bahan aditif tersebut terkonsumsi dan terakumulasi dalam tubuh? Bagaimana dampaknya bagi kesehatan? Dan bagaimana tindakan konsumen terutama ibu-ibu rumah tangga dalam memilih, mengolah makanan yang aman, higienis, cukup gizi dan menyehatkan anggota keluarganya?
Berdasarkan pertanyaan tersebut, makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi lebih lanjut terhadap bahaya zat aditif dan kemasan pada makanan siap saji terhadap kesehatan konsumen.
Makanan siap saji
Makanan siap saji yang dimaksud adalah jenis makanan yang dikemas, mudah disajikan, praktis, atau diolah dengan cara sederhana. Makanan tersebut umumnya diproduksi oleh industri pengolahan pangan dengan teknologi tinggi dan memberikan berbagai zat aditif untuk mengawetkan dan memberikan cita rasa bagi produk tersebut. Makanan siap saji biasanya berupa lauk pauk dalam kemasan, mi instan, nugget, atau juga corn flakes sebagai makanan untuk sarapan.
Zat aditif adalah bahan kimia yang dicampurkan ke dalam makanan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas, menambahkan rasa dan memantapkan kesegaran produk tersebut. Menurut Majeed (1996), zat aditif dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu: agen emulsi yaitu aditif yang berbahan lemak dan air semacam lesitin, agen penstabil dan pemekat contohnya alginat dan gliserin, agen penghalang kerak untuk mencegah penggumpalan, agen peningkatan nutrisi contohnya berbagai vitamin, agen pengawet contohnya garam nitrat dan nitrit, agen antioksidan contohnya vitamin C dan E ; BHT (Butylated Hydroxy-Toluen) dan BHA (Butylated Hydroxy-Anisol), agen pengembang untuk roti dan bolu, agen penyedap rasa semisal monosodium glutamat (MSG), bahan pewarna.
Selain sembilan zat aditif tadi, Denfer (2001) juga menyatakan terdapat bahan lain yang ditambahkan dalam makanan di antaranya: agen peluntur, lemak hewani, bahan pengasam, bahan pemisah, pati termodifikasi, alkohol, dan gelatin.(Berbagai sumber)***
Yusep Ikrawan,
Dosen Jurusan Teknologi Pangan, FT - Unpas.

LIMBAH TAHU, KOTORAN TERNAK DAN MANUSIA Sbg ALTERNATIF MENGHEMAT UANG DARI LIMBAH YANG MENJIJIKAN

Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob yaitu bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara. Bahan organik tersebut dimasukkan ke dalam ruangan tertutup kedap udara yang disebut digester sehingga bakteri anaerob akan membusukkan bahan organik tersebut yang kemudian menghasilkan gas yang disebut Biogas. Biogas yang telah terkumpul di dalam digester selanjutnya dialirkan melalui pipa PVC menuju ke lokasi penggunaannya seperti kompor dan lampu. Komposisi gas yang terdapat di dalam Biogas adalah: Methana (CH4) 40 70%, Karbondioksida (CO2) 30 60%, Hidrogen (H2) 0 1%, dan Hidrogen Sulfida (H2S) 0 3%. Nilai kalori dari 1 meter kubik Biogas sekitar 6.000 watt jam yang setara dengan setengah liter minyak diesel.
Jumlah pengusaha tahun tempe di Pulau Lombok meningkat cukup signifikan. Hal ini didasarkan pada semakin tingginya konsumsi tahu tempe di daerah ini. Kondisi ini terjadi akibat daya beli masarakat akibat krisis masih rendah, sehingga tahu tempe adalah pilihan bijak sebagai lauk pauk. Namun, di satu sisi Limbah tahu menjadi persoalan tersendiri. Limbah ini berbau busuk yang sangat menyengat sehingga mengganggu aktifitas masyarakat. Serba dilema memang, Jika pengusaha tahu di paksa membuat IPAL sendiri, kondisi modal dan volume produksi tidak bisa menutupi ongkos pembuatan instalasi limbah sendiri. Di khawatirkan produsen tahu kehabisan modal. Peternakan kambing, sapi, kuda, ayam masih menjadi profesi sebagai kecil masyarakat di Lombok. Tingkat pendidikan rendah dan lapangan kerja yang sempit menimbulkan masyarakat produktif tidak punya pilihan dalam mencari nafkah.
Sayangnya, kandang kandang ini berada di tengah tengah pemukiman warga. Kondisi semacam ini menimbulkan bau yang mengganggu warga yang lain. Permasalahannya hampir sama dengan dampak yang diakibatkan oleh limbah tahu. Dari temuan ini, saya berpendapat bahwa hanya pemerintah daerah lah yang harus bertindak dalam menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah daerah di tuntut harus lebih sungguh-sungguh dalam menanggulangi persoalan ini. Libatkan setiap elemen masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan setiap program yang di berikan kepada masyarakat, sehingga jangan terkesan hanya proyek sedangkan kualitas NOL BESAR
Sebagai contoh misalnya, instalasi pengolah air limbah yang ada di Dusun Bile Sundung, Desa Danger, Kecamatan Masbagek adalah potret Pemerintah Daerah yang tidak sungguh-sungguh dalam melakukan pengendalian pencemaran limbah tahu. Instalasi ini macet total karena perencanaan dan pembangunan yang salah dari aspek teknik pengelolaan limbah tahu. Saluran tersumbat, kolam pengendapan terlalu dangkal, buangan limbahnya belum layak di buang ke sungai. Oleh karena limbah cair dari kotoran ternak dan proses produksi tahu menimbulkan bau yang sangat menyengat dan mengganggu masyarakat, sementara itu biaya bahan bakar minyak semakin tinggi saja. Maka solusi yang menarik di tawarkan melalui konsep yang sederhana yaitu pemanfaatan limbah yang sangat mengganggu sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah……?.
Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob yaitu bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara. Bahan organik tersebut dimasukkan ke dalam ruangan tertutup kedap udara yang disebut digester sehingga bakteri anaerob akan membusukkan bahan organik tersebut yang kemudian menghasilkan gas yang disebut Biogas. Biogas yang telah terkumpul di dalam digester selanjutnya dialirkan melalui pipa PVC menuju ke lokasi penggunaannya seperti kompor dan lampu. Komposisi gas yang terdapat di dalam Biogas adalah: Methana (CH4) 40 70%, Karbondioksida (CO2) 30 60%, Hidrogen (H2) 0 1%, dan Hidrogen Sulfida (H2S) 0 3%. Nilai kalori dari 1 meter kubik Biogas sekitar 6.000 watt jam yang setara dengan setengah liter minyak diesel.
Oleh karena itu Biogas sangat cocok digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan pengganti minyak tanah, LPG, butana, batubara, maupun bahan-bahan lain yang berasal dari fosil. Pembakaran gas methan untuk memasak menghasilkan api biru dan tidak mengeluarkan asap. Sebagai contoh, gas methane yang dihasilkan dari 40 kilogram kotoran sapi dapat digunakan untuk memanaskan kompor selama 6 jam. Jika seekor sapi rata-rata dapat menghasilkan kotoran dicampur air sekitar 20 kilogram setiap hari, berarti dua ekor sapi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi sebuah dapur, Gas yang dihasilkan dialirkan melalui selang plastik ke ke kompor.
Selain itu, biogas di pake untuk penerangan dengan menghubungkan langsung sebuah pipa ke lampu storongking, nyala yang dihasilkanpun sama dengan berbahan bakar minyak tanah. Ditinjau dari aspek ekonomis, limbah kotoran ternak, tahu tempe dan kotoran manusia yang telah hilang gasnya merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Keluarga yang menggunakan biogas sudah tidak membutuhkan pembelian bahan bakar karena sudah bisa terpenuhi kebutuhannya. Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas, namun demikian hanya bahan organik (padat, cair) homogen seperti kotoran manusia, limbah tahu tempe, kotoran peternakan ayam dll. Untuk kotoran manusia sangat mungkin menyatukan saluran pembuangan di kamar mandi atau WC ke dalam sistem Biogas.
Terakhir, alangkah indahnya hidup para pengusaha tahu tempe dan peternak sapi di lombok jika memiliki instalasi bio-gas sehingga akan membantu kehidupan mereka dari kebutuhan minyak tanah dan penerangan akibat lampu PLN yang sering padam. Peran pemerintah daerah hendaknya lebih geliat terhadap teknologi sederhana, tepat guna dan murah yang sangat berdampak langsung bagi masyarakat. Penggunaan bio gas dari kotoran manusia juga perlu dikembangkan terutama untuk kantor-kantor pemerintah dan swasta, sekolah-sekolah, pesantren, kost-kostan atau keluarga dengan penghuni diatas 5 orang.